Home » Info Sekolah » Ikatlah Ilmu dengan Menulisnya

Ikatlah Ilmu dengan Menulisnya

ADA sebuah pernyataan yang dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Pernyataan ini senantiasa menjadi dalil untuk menjelmakan tradisi menulis, meskipun perlu juga penelusuran lebih teliti penisbatannya kepada suami dari Fatimah binti Muhammad itu. Pelbagai apresiasi dan tafsir tak terhitung telah diuraikan demi memberi makna pernyataan tersebut.

Lantas, mengapa ilmu perlu diikat? Wahtini (2010) lewat tulisannya berjudul “Menulis, Tradisi Intelektual Muslim” yang tergabung dalam buku antologi Menulis, Tradisi Intelektual Muslim mencoba memberikan jawaban. Ilmu perlu ikat karena ilmu pun bisa lenyap dari bumi sebagaimana lenyapnya ruh dari tubuh, ujar Wahtini. Penulis yang memiliki nama pena Tinta Zaitun ini menuturkan, “Ilmu adalah hikmah yang Allah SWT percayakan kepada orang-orang yang layak menerimanya. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 269, “Allah menganugerahkan al-hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”

Lebih lanjut Wahtini menuliskan, “Tidak semua orang mampu membaca hikmah, sebagaimana tidak semua orang mampu menyerap ilmu yang bertebaran di muka bumi. Maka, di situlah ilmu menjadi penting untuk diajarkan, oleh orang yang diberi kemampuan membaca hikmah kepada orang yang kurang mampu menemukan helai-helai hikmah dalam hidupnya. Dari semangat mengajarkan itulah munculnya benang merah dengan perkataan Ali bin Abi Thalib di atas.”

Benar apa yang dikatakan Wahtini bahwa tulisan menjadi sebuah wahana pengajaran sekaligus wahana transfer ilmu. “Hikmah yang berhasil ditemukan tidak selamanya mampu dipegang atau tersimpan. Maka, untuk menjaga hikmah itu, Ali bin Abi Thalib mengajarkan untuk menuliskannya. Di samping menyimpan ilmu, tulisan mampu menjadi alat transfer ilmu itu sendiri ketika dibaca oleh orang lain,” tutur Wahtini.

Apa yang diutarakan Wahtini di atas terdapat dalam buku Menulis, Tradisi Intelektual Muslim, halaman 95-96. Buku ini diterbitkan Youth Publisher, Yogyakarta, cetakan I November 2010. Selain Wahtini, buku ini juga berisi tulisan dari 24 penulis lainnya.

Pada dasarnya, menurut Hendra Sugiantoro, mengikat ilmu dengan tulisan merupakan pekerjaan yang tidaklah sukar. Namun demikian, sebagian dari kita merumitkan pekerjaan ini, sehingga pandai berdalih tak ada yang bisa dituliskan. Padahal, setiap saat kita mendapatkan ilmu, entah dari mana pun datangnya. Ilmu yang kita dapatkan itu perlu diikat dan disampaikan kepada orang lain.

Yang jelas, tulisan ini adalah upaya “mengikat ilmu”. Begitu mudah, bukan? Wallahu a’lam.


Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *